PERBER RUMAH IBADAH: JENDELA KETIDAKADILAN YANG DIPAKAI SEBAGAI PATOKAN ‘KERUKUNAN.

Selasa, 23 Desember 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bogor –
Kumparan88news.com.-

Bayangkan,setiap hari Anda harus berjalan jauh untuk beribadah, atau menyembunyikan tempat ibadah Anda karena takut ditolak. Ini bukan cerita fiksi – ini adalah kenyataan yang dihidupi umat minoritas di berbagai pelosok Indonesia. Bagi mereka, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” tidak lagi menjadi janji kebhinekaan yang hidup – melainkan sebuah catatan sejarah yang semakin memudar, tertutup oleh bayangan satu peraturan yang kejam: Peraturan Bersama (Perber) Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri No. 8 & 9 Tahun 2006.

Di balik label “peraturan kerukunan umat” yang megah, peraturan ini adalah sebuah paradox yang menyakitkan: peraturan yang seharusnya melindungi hak beragama semua warga – termasuk minoritas – justru menjadi alat paling ampuh untuk menekan dan menolak mereka. Bagi saya, ini bukan sekadar kesalahan teknis dalam pembuatan aturan – tapi kelalaian sengaja untuk memberi kekuasaan pada kelompok mayoritas, dengan mengorbankan hak-hak minoritas yang jelas dijamin oleh UUD 1945.

Meskipun Kementerian Agama menyatakan bahwa benturan antar agama “nyaris tak ada lagi” sejak diberlakukannya Perber tahun 2006, data dari lembaga independen menunjukkan bahwa gangguan terhadap hak beragama dan tempat ibadah minoritas tetap meluas bahkan hingga tahun 2025.

Menurut data Setara Institute, terdapat lebih dari 342 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya pada tahun 2020 saja – termasuk penolakan pembangunan rumah ibadah, penutupan tempat ibadah, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas. Meskipun data lengkap dari 2006 hingga 2025 belum terbaru secara keseluruhan, laporan tahunan lembaga ini menunjukkan tren peningkatan kasus pada beberapa periode, terutama ketika syarat rekomendasi FKUB semakin menjadi alat penolakan.

Selain itu, organisasi non-pemerintah Impar Sial mencatat 13 kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) selama periode Desember 2024 – Juli 2025, dengan Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus tertinggi (9 kasus). Dari total kasus tersebut, sembilan di antaranya merupakan pelanggaran hak atas rumah ibadah, sedangkan tujuh kasus lainnya adalah pelanggaran hak melaksanakan ibadah.

Beberapa kasus menonjol yang menjadi simbol kesusahan umat minoritas dari 2006 hingga 2025 adalah:

– Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin, Bogor: Pendirian gereja yang sudah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sejak 2001 tetap terhambat sampai sekarang, akibat penolakan dari masyarakat setempat yang diberdayakan oleh aturan Perber. Kasus ini bahkan menarik perhatian internasional sebagai contoh pelanggaran hak beragama.
– Peristiwa Tolikara, Papua (2015): Surat pelarangan beribadah pada hari raya Idul Fitri memicu pembubaran shalat Ied, yang berujung pada konflik yang menyebabkan 1 orang meninggal, 11 orang terluka, dan beberapa warga muslim mengungsi. Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa ini merupakan pelanggaran HAM yang dipicu oleh interpretasi sempit terhadap aturan terkait ibadah.
– Penyegelan tempat ibadah Jamaah Ahmadiyah, Garut (Juli 2024): Tempat ibadah kelompok Ahmadiyah di Kampung Nyalindung disegel oleh pihak berwenang, menyebabkannya tidak dapat melaksanakan ibadah secara teratur.
– Pembubaran ibadah Rosario mahasiswa Unpam, Tangerang Selatan (Mei 2024): Ibadah doa mahasiswa katolik digeruduk oleh masyarakat sekitar, yang menyebabkan dua mahasiswa terluka.
– Pembubaran ibadah gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah, Padang (Juli 2025): Sekelompok umat yang beribadah di rumah pribadi diserang dan dibubarkan oleh warga, bahkan beberapa bagian rumah dihancurkan.

Baca Juga:  *"Kefas Hervin Devananda: PSI Siap Menjadi Partai yang Lebih Terbuka dan Partisipatif"*

Akibat dari semua kasus ini tidak hanya terbatas pada kesulitan beribadah, tapi juga merusak hubungan antarumat, menimbulkan rasa ketidakpercayaan pada negara, dan membuat umat minoritas merasa terpinggirkan dari negara yang seharusnya melindungi hak mereka. Banyak korban mengalami tekanan psikis, kehilangan tempat tinggal, dan bahkan harus mengungsi untuk menghindari bahaya. Secara hukum, pelaku pelanggaran seringkali tidak ditindak tegas, sehingga membuat rasa tidak adil semakin membesar.

Yang paling menjijikkan adalah “syarat rekomendasi FKUB” sebagai syarat mutlak. Di kertas, FKUB ditujukan untuk mencegah konflik. Tapi di kenyataan, ini adalah senjata politik yang digunakan untuk menolak setiap usaha pendirian rumah ibadah yang “tidak diinginkan” – terutama milik umat minoritas. Tanpa rekomendasi FKUB, proses perizinan hancur – dan seringkali, rekomendasi itu ditolak bukan karena ada ancaman nyata, tapi hanya karena “tidak cocok” dengan keinginan kelompok yang mendominasi di daerah itu.

Contoh kasus terbaru yang mencolok adalah pendirian Gereja Kanaan Jawa (GKJ) di Pondok Karya, Pondok Aren, Tangerang Selatan, September 2024. Meskipun izin pendirian sudah ada dan komunikasi dengan RT/RW serta warga sekitar sangat baik (bahkan pengurus gereja sering mengundang warga untuk kegiatan), tiba-tiba spanduk penolakan dipasang oleh oknum yang tidak teridentifikasi pada hari Minggu pagi saat umat seharusnya melaksanakan ibadah. Kejadian ini bukan pertama di Tangsel – sebelumnya, ibadah Rosario mahasiswa Unpam di Pamulang juga dibubarkan oleh warga dan RT. Ini bukan kerukunan – ini adalah ketakutan yang dipaksakan. Syarat FKUB tidak lagi berfungsi sebagai penyeimbang, tapi sebagai pintu yang dipasang kunci oleh kelompok yang berkuasa untuk menahan minoritas.

Ketika PSI mengajukan judicial review untuk menghapus syarat FKUB tahun 2023, banyak berharap MA akan menjadi “pelindung hak asasi” umat minoritas. Tapi keputusan penolakan yang keluar adalah kejutan yang menyakitkan dan mengecewakan. MA menyatakan bahwa syarat itu “bertujuan menjaga kerukunan” – tapi lupa bahwa UUD 1945 Pasal 28E ayat (1) jelas mengakui kebebasan beragama tanpa paksaan bagi semua orang, tanpa memandang status minoritas atau mayoritas.

Baca Juga:  Guru, Pahlawan yang Terlupakan: Kekerasan dan Kriminalisasi dalam Dunia Pendidikan

Padahal, ini bukan pertama kalinya upaya hukum untuk menantang Perber itu gagal. Sebelumnya, Pdt Ruyandi Hutasoit, ketua umum DPP Partai Damai Sejahtera (PDS), juga pernah melakukan langkah-langkah hukum untuk menantang aturan yang dianggap bermasalah itu – namun permohonannya juga ditolak. Bahkan, pada salah satu kesempatan publiknya, Pdt Ruyandi mengungkapkan keberatan bahwa Perber tidak mampu mencegah aksi pelarangan beribadah dan pembangunan rumah ibadah milik minoritas, bahkan justru dijadikan legitimasi untuk menutup gereja atau tempat ibadah lainnya. Saat itu, ia juga menyatakan bahwa pemerintah seharusnya segera merevisi aturan yang “telah ketinggalan zaman dan merugikan minoritas”.

Bagaimana mungkin “kerukunan” bisa dibangun dengan menekan hak umat minoritas? Ini adalah logika yang terbalik. Putusan MA tahun 2023 dan penolakan terhadap upaya hukum Pdt Ruyandi bukan hanya penolakan terhadap gugatan – tapi juga penolakan terhadap nilai-nilai konstitusi yang seharusnya menjadi landasan kebhinekaan. Kasus GKJ Tangsel september 2024 dan GKSI Padang juli 2025 bahkan memperkuat kesan bahwa putusan-putusan ini hanya memperkuat kekuasaan kelompok yang ingin menindas – karena meskipun izin ada atau ibadah dilakukan di rumah pribadi, intoleransi terhadap minoritas masih bisa muncul dengan mudah, tanpa ada tindakan tegas yang memadai. Ini menunjukkan bahwa lembaga peradilan terkait masih terjebak dalam paradigma “status quo lebih penting daripada keadilan bagi minoritas”.

Secara intinya, Perber rumah ibadah saat ini adalah bukti kekurangan keberanian pemerintah untuk menegakkan hukum dan melindungi umat minoritas. Alih-alih membuat aturan yang jelas, objektif, dan sesuai UUD, pemerintah malah membuat peraturan yang “aman” – yang memberi ruang luas bagi interpretasi sempit dan penindasan. Ini seolah-olah pemerintah berkata: “Kita tahu hakmu ada, tapi jika kelompok mayoritas tidak setuju, maka lupakan saja – meskipun kamu adalah warga negara yang sah.”

Baca Juga:  Diduga Libatkan Kades, Oknum Linmas Leuwiliang Lakukan Pungli Berkedok THR, Bupati Bogor Bungkam?

Peraturan ini tidak hanya ketinggalan zaman – tapi juga sumber potensial konflik yang lebih besar. Setiap penolakan yang tidak adil terhadap minoritas menimbulkan rasa kemarahan dan ketidakpercayaan pada negara. Kasus GKJ Tangsel adalah bukti bahwa bahkan ketika semua prosedur telah dipenuhi, oknum masih bisa mengganggu ibadah minoritas dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab – dan pemerintah tampak tidak mampu menindak tegas. Ketika umat minoritas merasa bahwa negara tidak melindungi hak mereka, mereka akan mencari cara sendiri – dan itu adalah titik awal kerusuhan yang tidak perlu.

Perber rumah ibadah saat ini adalah jendela yang memperlihatkan ketidakadilan yang ditimpakan pada umat minoritas di dalam negeri kita. Ia adalah peraturan yang dipakai sebagai patokan “kerukunan”, tapi sebenarnya hanya memelihara dominasi kelompok mayoritas. Data ribuan kasus gangguan selama 2006-2025, kasus-kasus terbaru seperti GKSI Padang dan GKJ Tangsel, ditambah gagalnya upaya hukum Pdt Ruyandi Hutasoit sebelumnya, membuktikan bahwa peraturan ini tidak bekerja – sebaliknya, ia menjadi sarana bagi intoleransi terhadap minoritas untuk berkembang.

Saat ini, tanggung jawab berada di pundak pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Selama kampanye pilpres, ia berjanji untuk menjaga kebhinekaan dan memastikan keadilan bagi semua warga – termasuk umat minoritas – tanpa memandang agama atau latar belakang. Sekarang waktunya untuk menepati janji itu dengan langkah tegas: cabut Perber No. 8 & 9 Tahun 2006 yang merugikan, gantikan dengan peraturan yang jelas, objektif, dan benar-benar melindungi hak beragama umat minoritas sesuai UUD 1945.

Tanpa tindakan ini, kebhinekaan yang kita banggakan hanyalah omong kosong – dan pemerintah Prabowo akan dianggap gagal dalam menjaga harkat dan martabat setiap warga negara, terutama mereka yang paling membutuhkan perlindungan: umat minoritas.

Ditulis dengan kesadaran bahwa keadilan harus diberikan kepada semua, tanpa memandang agama atau status sosial.

Ditulis oleh: Kefas Hervin Devananda (Romo Kefas) – Jurnalis Senior Pewarna Indonesia,Humas PGLII Kota Bogor dan Wakil Sekretaris Jenderal Ormas Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo) Periode 2021 – 2026.

(*).

Facebook Comments Box

Berita Terkait

ATR/BPN Bogor Diguncang Skandal: Diduga Berkas Warga Raib, LSM Tuding Ada Pelanggaran Berat
Guru, Pahlawan yang Terlupakan: Kekerasan dan Kriminalisasi dalam Dunia Pendidikan
*”BUMN dalam Krisis: Dampak Rangkap Jabatan Wakil Menteri”*
Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah: Darurat dan Memprihatinkan
*”Kefas Hervin Devananda: PSI Siap Menjadi Partai yang Lebih Terbuka dan Partisipatif”*
Ketua PEWARNA JABAR berpendapat Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Haruslah Mematuhi Aturan yang Ada
Diduga Libatkan Kades, Oknum Linmas Leuwiliang Lakukan Pungli Berkedok THR, Bupati Bogor Bungkam?
“Pilar Demokrasi Terancam: Seruan Tegas Ketua PD Pewarna Jawa Barat untuk Kebebasan Pers

Berita Terkait

Selasa, 23 Desember 2025 - 18:49 WIB

PERBER RUMAH IBADAH: JENDELA KETIDAKADILAN YANG DIPAKAI SEBAGAI PATOKAN ‘KERUKUNAN.

Rabu, 27 Agustus 2025 - 17:14 WIB

ATR/BPN Bogor Diguncang Skandal: Diduga Berkas Warga Raib, LSM Tuding Ada Pelanggaran Berat

Minggu, 20 Juli 2025 - 19:44 WIB

Guru, Pahlawan yang Terlupakan: Kekerasan dan Kriminalisasi dalam Dunia Pendidikan

Minggu, 13 Juli 2025 - 21:28 WIB

*”BUMN dalam Krisis: Dampak Rangkap Jabatan Wakil Menteri”*

Selasa, 10 Juni 2025 - 16:50 WIB

Kekerasan Terhadap Anak di Sekolah: Darurat dan Memprihatinkan

Berita Terbaru